numpang iklan dsini

Jumat, 14 Januari 2011

nh lg tgs PIE #2

Kemiskinan Struktural Masyarakat Nelayan

Pendahuluan
“ Nenek Moyangku Seorang Pelaut….”. Nyanyian itu pastinya tidak lagi asing di telinga kita. Betapa tidak, dari kecil kita sudah diajari oleh guru kita tentang dendangan lagu tersebut. Tapi apakah kita sadar, ternyata nyanyian itu tidak hanya sekedar nyanyian belaka. Pelaut sangat identik dengan orang-orang yang hidup di daerah perairan atau lebih tepatnya disebut dengan laut. Indonesia, sebuah negara maritime yang lebih dari wilayah lautnya meliputi 2/3 dari seluruh luas wilayah Negara dan memiliki kekayaan bahari yang begitu melimpah, layaknya menjadi surga setiap pelaut dan nelayan yang hidup di bumi ini. Namun apakah kenyataannya seperti itu?
Rasanya sulit untuk sekedar menjawab iya atas pertanyaan tersebut. Kenyataannya, nelayan yang mendiami pesisir lebih dari 22 persen dari seluruh penduduk Indonesia justru berada di bawah garis kemiskinan dan selama ini menjadi golongan yang palingterpinggirkan karena kebijakan dalam pembangunan yang lebih mengarah kepada daratan. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2008, penduduk miskin di indonesia mencapai 34,96 juta jiwa dan 63,47 persen % di antaranya adalah masyarakat yang hidup di kawasan pesisir dan pedesaan. Di sisi lain pengelolaan dan pemanfaatan potensi sumberdaya kelautan dan pesisir selalu beriringan dengan kerusakan lingkungan dan habitat seperti terumbu karang dan hutan mangrove, dan hampir semua eksosistim pesisir Indonesia terancam kelestariannya.
Hal tersebut menimbulkan sebuah ironi yang sangat bagi kita semua karena bagaimana bisa, sebuah negeri dengan kekayaan laut yang begitu melimpah malah tidak memberikan kesejahteraan bagi para nelayan? Apa sebetulnya yang menjadi masalah? Tulisan berikut ini akan mencoba untuk menguraikan permasalahan tersebut secara lebih mendalam.
Kemiskinan dan Anekdot bernama Persamaan dan Kesamaan di Hadapan Hukum
Kemiskinan diartikan sebagai suatu keadaan di mana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompok dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga mental, maupun fisiknya dalam kelompok tersebut[1]. Kemiskinan tidak bisa hanya dilihat dari sudut ekonomi saja karena kemiskinan ternyata berkaitan dengan berbagai aspek, diantaranya aspek sosial budaya, bahwa persoalan kemiskinan sangat erat hubungannya dengan budaya[2]. Dari sudut ini, kita dapat melihat bahwa budaya turut ambil bagian dalam membuat seseorang menjadi miskin[3].
Menurut teori konservatif, kemiskinan berasal dari karakteristik khas orang-orang miskin. Seseorang menjadi miskin bukan hanya karena masalah mental atau tiadanya kesempatan untuk sejahtera, tetapi juga karena adanya perspektif masyarakat yang menyisihkan dan memiskinkan orang.
Secara garis besar, dapat dikatakan bahwa penyebab kemiskinan setidaknya terkait dengan tiga dimensi[4], yaitu :
  • Dimensi Ekonomi
Kurangnya sumber daya yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan orang, baik secara financial ataupun segala jenis kekayaan yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
  • Dimensi Sosial dan Budaya
Kekurangan jaringan social dan struktur yang mendukung untuk mendapatkan kesempatan agar produktivitas seseorang meningkat.
  • Dimensi Sosial dan Politik
Rendahnya derajat akses terhadap kekuatan yang mencakup tatanan sistem social politik.
Di dunia bagian manapun, rasanya kita akan sulit menemukan ada suatu negara tanpa orang miskin. Bahwa pengelompokkan golongan berdasarkan suatu kualifikasi miskin dan kaya memang menjadi suatu fitrah dan oleh karenanya akan selalu ada dalam kehidupan manusia. Namun, akan menjadi sebuah masalah apabila kemiskinan diartikan sedemikian rupa sehingga menimbulkan perbedaan diantara para warga masyarakat secara tegas. Disinilah diperlukan peran hukum untuk menjamin adanya suatu persamaan di hadapan hukum tanpa memandang status dan derajat seseorang.
Ironisnya, lebih sering hukum berlaku yang sebaliknya. Kekayaan memberikan perlindungan hukum yang lebih aman, malah sering juga melestarikan ketidakadilan hukum antara si kaya dan si miskin. Hidup dibagi dalam beberapa kelas, dan mimpi kita tentang ”persamaan dan kesamaan di hadapan hukum” semakin lama semakin memudar[5]. Contoh yang sangat menarik di kemukakan oleh C.J.M. Schuyt – dalam bukunya Keadilan dan Effektivitas dalam Pembangunan Kesempatan Hidup – yaitu dalam peristiwa tragedi kapal Titanic yang tenggelam di laut Atlantik. Kapal yang terdiri dari 3 kelas itu memberikan bukti, bahwa penumpang kelas I lebih terjamin keselamatannya jika dibandingkan dengan penumpang kelas II dan III, dan penumpang kelas II lebih terjamin dari penumpang kelas III. Contoh lain dikemukakan oleh Todung Mulya Lubis, bahwa seseorang yang mampu membayar advokat kelas satu akan mendapat harapan sukses yang lebih besar dibandingkan dengan seseorang yang hanya mampu membayar seorang pengacara masyakat (pokrol bambu). Seorang yang mampu membayar seorang dokter spesialis akan mempunyai harapan lebih besar untuk sembuh ketimbang seseorang yang hanya mampu membayar seorang mantri biasa.
Melalui contoh-contoh tersebut, jelaslah bagi kita bahwa kelebihan uang atau kekayaan ternyata memberikan jaminan keselamatan yang lebih baik. Pada akhirnya kita memang harus mengakui bahwa pengkotak-kotakan memang telah jadi sifat kehidupan kita. Rasa hormat atau kepercayaan terhadap ”persamaan” adalah omong kosong kaum intelektual. Dan ini semua adalah contoh dari ketidakjujuran kita terhadap diri sendiri[6].
Kondisi Nelayan Indonesia
Bank Dunia memperhitungkan bahwa 108,78 juta orang atau 49 persen dari total penduduk Indonesia dalam kondisi miskin dan rentan menjadi miskin[7]. Kalangan tersebut hidup hanya kurang dari 2 dollar AS atau sekitar Rp. 19.000,– per hari. Badan Pusat Statistik (BPS), dengan perhitungan yang agak berbeda dari Bank dunia, mengumumkan angka kemiskinan di Indonesia ‘hanya’ sebesar 34,96 juta orang (15,42 persen)[8]. Angka tersebut diperoleh berdasarkan ukuran garis kemiskinan ditetapkan sebesar 1,55 dollar AS. Namun, terlepas dari perbedaan angka-angka tersebut, yang terpenting bagi kita adalah bukan memperdabatkan masalah banyaknya jumlah orang miskin di Indonesia, tapi bagaimana menemukan solusi untuk mengatasi masalah kemiskinan tersebut.
Dengan potensi yang demikian besar, kesejahteraan nelayan justru sangat minim dan identik dengan kemiskinan. Sebagian besar (63,47 persen) penduduk miskin di Indonesia berada di daerah pesisir dan pedesaan[9]Data statistik menunjukan bahwa upah riil harian yang diterima seorang buruh tani (termasuk buruh nelayan) hanya sebesar Rp. 30.449,- per hari[10]. Jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan upah nominal harian seorang buruh bangunan biasa (tukang bukan mandor) Rp. 48.301,- per hari[11]. Hal ini perlu menjadi perhatian mengingat ada keterkaitan erat antara kemiskinan dan pengelolaan wilayah pesisir.
Tekanan terhadap sumber daya pesisir sering diperberat oleh tingginya angka kemiskinan di wilayah tersebut. Kemiskinan sering pula memicu sebuah lingkaran setan karena penduduk yang miskin sering menjadi sebab rusaknya lingkungan pesisir, namun penduduk miskin pulalah yang akan menanggung dampak dari kerusakan lingkungan. Dengan kondisi tersebut, tidak mengherankan jika praktik perikanan yang merusak masih sering terjadi di wilayah pesisir. Pendapatan mereka dari kegiatan pengeboman dan penangkapan ikan karang dengan cyanide masih jauh lebih besar dari pendapatan mereka sebagai nelayan. Dengan besarnya perbedaan pendapatan tersebut di atas, sulit untuk mengatasi masalah kerusakan ekosistem pesisir tanpa memecahkan masalah kemiskinan yang terjadi di wilayah pesisir itu sendiri.
Analisa Penyebab Kemiskinan Nelayan
Masalah kemiskinan nelayan merupakan masalah yang bersifat multi dimensi sehingga untuk menyelesaikannya diperlukan sebuah solusi yang menyeluruh, dan bukan solusi secara parsial. Untuk kita, terlebih dahulu harus diketahui akar masalah yang menjadi penyebab terjadinya kemiskinan nelayan.
Secara umum, kemiskinan masyarakat pesisir ditengarai disebabkan oleh tidak terpenuhinya hak-hak dasar masyarakat, antara lain kebutuhan akan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, inftastruktur. Di samping itu, kurangnya kesempatan berusaha, kurangnya akses terhadap informasi, teknologi dan permodalan, budaya dan gaya hidup yang cenderung boros, menyebabkan posisi tawar masyarakat miskin semakin lemah. Pada saat yang sama, kebijakan Pemerintah selama ini kurang berpihak pada masyarakat pesisir sebagat salah satu pemangku kepentingan di wilayah pesisir.
1. Kondisi Alam
Kompleksnya permasalahan kemiskinan masyarakat nelayan terjadi disebabkan masyarakat nelayan hidup dalam suasana alam yang keras yang selalu diliputi ketidakpastian (uncertainty) dalam menjalankan usahanya. Musim paceklik yang selalu datang tiap tahunnya dan lamanya pun tidak dapat dipastikan akan semakin membuat masyarakat nelayan terus berada dalam lingkaran setan kemiskinan (vicious circle) setiap tahunnya.
2. Tingkat pendidikan nelayan
Nelayan yang miskin umumnya belum banyak tersentuh teknologi modern, kualitas sumber daya manusia rendah dan tingkat produktivitas hasil tangkapannya juga sangat rendah. Tingkat pendidikan nelayan berbanding lurus dengan teknologi yang dapat dihasilkan oleh para nelayan, dalam hal ini teknologi di bidang penangkapan dan pengawetan ikan. Ikan cepat mengalami proses pembusukan dibandingkan dengan bahan makanan lain disebabkan oleh bakteri dan perubahan kimiawi pada ikan. Oleh karena itu, diperlukan teknologi pengawetan ikan yang baik. Selama ini, nelayan hanya menggunakan cara yang tradisional untuk mengawetkan ikan. Hal tersebut salah satunya disebabkan karena rendahnya tingkat pendidikan dan pengusaaan nelayan terhadap teknologi.
3. Pola kehidupan nelayan sendiri
Streotipe semisal boros dan malas oleh berbagai pihak sering dianggap menjadi penyebab kemiskian nelayan. Padahal kultur nelayan jika dicermati justru memiliki etos kerja yang handal. Bayangkan mereka pergi subuh pulang siang, kemudian menyempatkan waktunya pada waktu senggang untuk memperbaiki jaring. Memang ada sebagian nelayan yang mempunyai kebiasaan dan budaya boros dan hal tersebut menyebabkan posisi tawar masyarakat miskin semakin lemah
4. Pemasaran hasil tangkapan
Tidak semua daerah pesisir memiliki Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Hal tersebut membuat para nelayan terpaksa untuk menjual hasil tangkapan mereka kepada tengkulak dengan harga yang jauh di bawah harga pasaran.
5. Program pemerintah yang tidak memihak nelayan
Salah satunya adalah dengan adanya kenaikan BBM yang merupakan momok bagi nelayan, melihat tingginya ketergantungan mereka terutama pada jenis solar. Jika sampan bermesin ukuran 5-12 PK membutuhkan rata-rata 10 liter solar sekali melaut, maka setiap sampan akan mengelurakan biaya Rp.21.000 dalam kondisi harga normal atau di pangkalan sebesar Rp.2100. Tetapi pada umumnya nelayan membeli harga solar Rp.25.00-27.000, karena tergantung pada tingkatan agen yang bermain di lapangan. Semakin banyak agennya maka semakin panjanglah rantai pasarnya dan semakin tinggilah harga solar sampai ke tangan nelayan. Harga tersebut ‘terpaksa” dibeli, untuk bisa melanjutkan hidup dengan melaut, meskipun dengan kondisi pas-pasan[12].
Selain itu, proses pemangkasan kekuatan rakyat pada masa orde baru, masih terasakan dengan melemahnya kearifan-kearfian lokal. Dulu, tradisi jamu laut di Sumatera Utara masih efektif terutama dalam hal pelarangan penangkapan ikan pada musim tertentu. Biasanya setelah jamu laut, dilarang pergi melaut selama beberapa hari, dengan demikian ada waktu pemulihan sumber daya ikan . Tak heran kalau sehabis jamu laut, dipercaya ada berkah laut dengan hasil tangkapan yang banyak. Sayangnya, semuanya itu tidak lagi seutuhnya terjadi hari ini, karena jamu lautpun sudah mulai pudar, dan hanya menjadi ritus-ritus belaka. Potret kemiskinan struktural terjadi karena negara sejak lama mengabaikan potensi bahari yang kaya raya ini sehingga hanya dikuasai segelinitir orang termasuk sebagain besar oleh kapal-kapal asing.
Patron-Klien, sebuah Hubungan Simbiosis Mutualisme atau Parasitisme?
Tidak semua nelayan memiliki perahu sendiri. Nelayan yang tidak mempunyai modal untuk membeli perahu, terpaksa meminjam uang kepada tengkulak. Pada umumnya para tengkulak (tokeh/patron) memberikan pinjaman kalau hasil tangkapan nelayan (klien) minim atau “nombok”. Ketergantungan nelayan pada tokehnya berawal dari utang/pinjaman, dan biasanya dilakukaan pada saat paceklik atau memperbaiki kerusakan alat tangkap seperti jaring dan menganti tali kajar. Meskipun demikian, ada juga pihak yang menilai bahwa keberadaan para patron (tokeh) tersebut justeru menolong nelayan. Konon, selama ini negara tidak mampu memberikan pinjaman lunak, dan kalaupun ada bank, mereka juga tidak bisa mengaksesnya karena alat tangkap sebagai faktor produksi tak bisa jadi agunan.
Indikator ini memang tidak selalu sama di setiap daerah karena seperti di Pekalongan, banyak juragan kapal yang mengeluh dengan sikap anak buah kapal (nelayan) yang cenderung terlalu banyak menuntut sehingga keuntungan juragan kapal menjadi terbatas. Namun secara umum terbatasnya kemampuan nelayan dalam mengembangkan kemampuan ekonominya karena nelayan seperti ini telah terjerat oleh utang yang dipinjam dari para juragan. Konsekuensinya adalah mereka harus menjual hasil tangkapan mereka kepada tengkulak/juragan tersebut yang bisa memainkan harga ikan semaunya tanpa memperdulikan harga pasaran.
Dalam perspektif struktural kemiskinan nelayan tidak hanya disebabkan hubungan patron-klien yang menimbulkan jeratan utang dan mengarah pada bentuk eksploitasi. Tetapi kemiskinan nelayan juga terjadi karena keterbatsan akses nelayan terhadap hak pengusaan sumberdaya perikanan. Penguasaan atas sumberdaya perikanan selama ini lebih banyak dinikmati oleh kolaborasi pemilik modal dan birokrat. Sebagai fakta adalah masih beroperasinya pukat harimau (trawl) di seluruh perairan Indonesia yang berakibat pada penyerobotan terhadap wilayah tangkap nelayan tradisional (traditional fishing ground).
Bahkan adanya musim-musim tertentu dimana ikan jenis tertentu banyak dan sedikit menggambarkan bahwa kehidupan mereka tergantung pada rejeki laut. Dalam satu daerah dimana terdapat desa-desa pesisir juga memiliki perbedaan dalam tingkat kesurplusan sumberdaya perikanan. Bahkan ukuran rumah yang terbuat dari bilik bambu dan sudah condong belum tentu bisa menjadi ukuran miskin karena mungkin saja ditemukan barang elektronik seperti TV. Pola hubungan patron klien memungkinkan mereka berutang dalam artian digunakan pada tujuan yang baik maupun tidak semisal membeli suatu barang berharga di rumah. Sehingga tak heran jika, umumnya nelayan berenang dalam kubangan utang. Penghasilan Rp.175.000/bulan tidaklah susah diperoleh ketika musim ikan banyak. Bahkan bisa tiga kali lipat, sekalipun dengan sistem bagi hasil dengan tokenya. Tapi besoknya, mungkin hanya dapat Rp.10.000, lalu kemudian meminjam ke tokeh, begitu seterusnya.
Namun berdasarkan pandangan nelayan (perspektif emic), kuatnya pola patron-klien di masyarakat nelayan disebabkan oleh kegiatan perikanan yang penuh resiko dan ketidakpastian sehingga tidak ada pilihan lain bagi mereka selain bergantung pada pemilik modal (patron). Dari hal tersebut, bisa dibayangkan apa yang akan diterima para nelayan dengan sistem yang demikian, sehingga sangatlah wajar jika kemiskinan menjadi bagian yang akrab dalam kehidupan mereka.
Masalah Kelautan dan Perikanan Indonesia di Mata Dunia
Walau sebagai negara maritim yang sejak zaman nenek moyang dikenal sebagai bangsa pelaut yang ulung, Indonesia masih terlalu lemah poisisinya dalam “peta” kelautan dunia. Persoalan tapal batas, pemetaan teritori garis pantai sampai penamaan pulau-pulau dan kalkulasi jumlah pasti sebaran pulau Indonesia memang menjadi masalah sejak masa awal Kemerdekaan Indonesia sampai saat ini. Sehingga friksi perbatasan laut menjadi rawan konflik dan sengketa dengan negara-negara tetangga yang berbatas laut langsung dengan Indonesia (terutama dengan Malaysia, Singapura, dan Australia). Hal ini juga bersinggungan dengan faktor keamanan laut, illegal fishing (pencurian ikan), pelanggaran batas, dan tindak kriminalitas kelautan lainnya. Data statistik menunjukankerugian sekitar 1/2 (setengah) milyar dollar sampai 4 (empat) milyar dollar per tahun akibat pencurian ikan oleh orang asing [13]. Persoalan ini masih ditambah dengan aspek lingkungan hidup kelautan kita yang jauh dari kategori ideal. Padahal Indonesia punya potensi kelautan yang luar biasa besar dan posisi tawar yang tinggi secara ekonomi, strategi dan politik.
Di tengah banyaknya persoalan dan masalah di bidang kelautan yang belum terselesaikan, Inisiatif dan gagasan besar dari Indonesia demi lestarinya laut dan kesejahteraan masyarakat, menciptakan acara konferensi internasional bertajuk “World Ocean Conference” dan “Coral Triangle Initiative Summit” yang digelar sepanjang 11 hingga 15 Mei 2009 di Manado, Sulawesi Utara. dihadiri oleh perwakilan dari 121 negara.
Agenda pokok yang akan dibahas dalam WOC dan CTIS tersebut adalah:
1.     Penentuan bentang laut (sea scapes) prioritas yang cukup luas untuk percontohan pengelolaan yang baik dan berkelanjutan untuk setiap negara peserta.
2.   Pengembangan jejaring  kawasan konservasi laut.
3.   Pengelolaan perikanan berbasis ekosistem dan pengelolaan sumber daya hayati laut.
4.   Pengembangan pendanaan yang berkelanjutan, termasuk pengembangan kapasitas dan pelibatan sektor swasta.
5.   Penyesuaian terukur terhadap perubahan iklim.
6.   Memperbaiki status ancaman terhadap beberapa spesies laut.
Pentingnya WOC dan CTIS bagi Indonesia dan negara-negara peserta, juga dilatarbelakangi kurangnya kepedulian dunia internasional terhadap pelestarian laut dan pengelolaan kekayaan hayatinya. Selaku tuan rumah, diharapkan Indonesia dapat memegang peran penting dalam isu di bidang kelautan sehingga posisi tawar dan eksistensi Indonesia sebagai negara dengan garis pantai terpanjang keempat di dunia – setelah Amerika Serikat, Kanada dan Rusia – dapat meningkat. Pada akhirnya, kita semua sama-sama berharap, dengan terselenggarannya WOC dan CIT akan menjadi satu langkah besar yang positif untuk membenahi sektor kelautan kita.
Langkah yang Harus Kita Ambil
Keterpaduan penanganan kemiskinan nelayan sangat dibutuhkan sekali, tujuannya adalah untuk menghilangkan egosektor dari masing-masing pemangku kepentingan. Keterpaduan tersebut adalah sebagai berikut : pertama, keterpaduan sektor dalam tanggung jawab dan kebijakan. Keputusan penanganan kemiskinan nelayan harus diambil melalui proses koordinasi diinternal pemerintah, yang perlu digaris bawahi adalah kemiskinan nelayan tidak akan mampu ditangani oleh secara kelembagaan oleh sektor kelautan dan perikanan, mulai dari pusat sampai kedaerah. Kedua, keterpaduan keahlian dan pengetahuan, untuk merumuskan berbagai kebijakan, strategi, dan program harus didukung berbagai disiplin ilmu pengetahuan dan keahlian, tujuannya adalah agar perencanaan yang disusun betul-betul sesuai dengan tuntutan kebutuhan masyarakat nelayan. Ketiga, keterpaduan masalah dan pemecahan masalah sangat diperlukan untuk mengetahui akar permasalahan yang sesungguhnya, sehingga kebijakan yang dibuat bersifat komprehensif, dan tidak parsial.  Keempat, keterpaduan lokasi, memudahkan dalam melakukan pendampingan, penyuluhan dan pelayanan (lintas sektor), sehingga program tersebut dapat dilakukan secara efektif dan efesien.
Kegagalan penanganan kemiskinan nelayan ini selama ini, disamping kurangnya keterpaduan, juga terdapatnya berbagai kelemahan dalam perencanaan. Untuk itu dalam proses perencanaan harus unsur-unsur sebagai berikut[14] :
1. Perumusan sasaran yang jelas, berupa ; hasil akhir yang diharapkan dari kegiatan yang dibuat, kelembagaan yang bertanggung jawab, serta objek dari kegiatan.
2. Pengidentifikasian situasi yang ada, yaitu dengan mempertimbangkan faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan eksternal (peluang dan ancaman), tujuannya untuk mengetahui kondisi sesungguhnya tentang objek yang akan ditangani. Selanjutnya akan memudahkan dalam menyusun berbagai strategi yang mendukung penanganan kemiskinan nelayan.
3. Penentuan tujuan harus bersifat spesifik (objek, kegiatan, dibatasi waktu dan terukur), sehingga pengentasan kemiskinan nelayan jelas siapa sasarannya dan jenis kegiatan yang akan dilakukan, dan selanjutnya berapa lama waktu yang dibutuhkan dalam pencapaian tujuan dapat ditentukan dengan jelas.
4. Menganalisa keadaan, pelaksanaan kegiatan harus disesuaikaan antara ketentuan yang telah ditetapkan dengan realiatas yang ada dilapangan, dan apabila terjadi permasalahan diluar dugaan, maka perlu segera dibuatkan stretegi dan tindakan baru untuk menutup jurang perbedaan.
5. Pendampingan, monitoring dan evaluasi, pendampingan harus dilakukan awal kegiatan dilaksanakan, sampai paca kegiatan, sehingga akan menjadi bahan evaluasi, apakah kegiatan telah dilaksanakan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.
Selanjutnya melalui konsep yang dikemukakan ini akan dapat dirumuskan berbagai strategi pengentasan kemiskinan seperti: perluasan kesempatan kerja, pemberdayaan kelembagaan masyarakat, peningkatan kapasitas kelembagaan dan SDM, perlindungan sosial, dan penataan kemitraan global.
Menciptakan Program Pemerintah yang Memihak
Bahwa musim paceklik akan hadir dalam setiap tahunnya. Oleh karenanya berbagai strategi adaptasi dilakukan masyarakat nelayan untuk bertahan hidup. Strategi adaptasi yang biasanya dilakukan adalah memobilisasi peran perempuan (kaum istri) dan anak-anaknya untuk mencari nafkah[15]. Keterlibatan perempuan dalam mencari nafkah untuk keluarga di wilayah pesisir atau desa-desa nelayan tidak terlepas dari sistem pembagian kerja secara seksual (the division of labour by sex) yang berlaku pada masyarakat setempat.
Kaum perempuan biasanya terlibat penuh dalam kegiatan pranata-pranata sosial ekonomi yang mereka bentuk, seperti arisan, kegiatan pengajian berdimensi kepentingan ekonomi, simpan pinjam, dan jaringan sosial yang bisa mereka manfaatkan untuk menunjang kelangsungan hidup keluarga. Hadirnya pranata-pranata tersebut merupakan strategi adaptasi masyarakat nelayan dalam menghadapi kesulitan hidup yang dihadapinya. Strategi adaptasi diartikan sebagai pilihan tindakan yang bersifat rasional dan efektif sesuai dengan konteks lingkungan sosial, politik, ekonomi dan ekologi, dimana penduduk miskin itu hidup.
Sedangkan strategi adaptasi yang dilakukan para nelayan (kaum suami) adalah diversifikasi pekerjaan untuk memperoleh sumber penghasilan baru. Bahkan, strategi adaptasi tersebut diselingi dengan menjual barang-barang berharga yang ada dan berhutang. Namun, kedua strategi ini pun tidak mudah didapat karena berbagai faktor telah membatasi akses mereka.
Dengan segala keterbatasan yang ada, masyarakat nelayan mengembangkan sistem jaringan social yang merupakan pilihan strategi adaptasi yang sangat signifikan untuk dapat mengakses sumberdaya ikan yang semakin langka. Jaringan sosial diartikan oleh Mitchell sebagai seperangkat hubungan khusus atau spesifik yang terbentuk di antara kelompok orang[16].
Oleh karena itu, diperlukan kebijakan pemerintah yang nyata dalam mengatasi masa pacaklik ini, salah satunya jaminan sosial. Jaminan yang dibutuhkan masyarakat nelayan tidak muluk-muluk, mereka hanya memerlukan tersedianya dana kesehatan dan dana paceklik. Sementara itu, kebijakan tersebut harus disusun oleh struktur sosial budaya lokal, baik yang berhubungan dengan masalah institusi maupun dengan sistem pembagian kerja yang berlaku dalam masyarakat nelayan. Hal ini dikarenakan, pranata-pranata sosial budaya yang ada merupakan potensi pembangunan masyarakat nelayan yang bisa dieksplorasi untuk mengatasi kemiskinan dan kesulitas ekonomi lainnya.
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri di sektor kelautan dan perikanan yang saat ini digalakkan oleh pemerintah, diharapkan bisa menurunkan angka kemiskinan nelayan di Indonesia. Melalui pengembangan kegiatan perekonomian masyarakat yang berbasis pada sumber daya lokal, baik masyarakat maupun sumber daya alamnya, para nelayan dapat mengembangkan usaha sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya. Dengan demikian, diharapkan dapat memberantas kemiskinan, menciptakan lapangan kerja dan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah, khususnya di kalangan masyarakat nelayan.
Selain itu, pemerintah juga perlu mendorong sektor perbankan untuk membuka kantor kasnya di setiap Tempat Pemasaran Ikan (TPI) yang bisa mengatasi kesulitan para bakul untuk menutup tagihannya. Termasuk fungsi perbankan disini adalah menyediakan dana yang diperlukan nelayan untuk berlayar. Sayangnya dengan kondisi kehidupan nelayan yang pas-pasan, tampaknya sangat sulit bagi perbankan untuk menjalankan fungsi tersebut tanpa adanya agunan yang memadai dari para nelayan.
Di sini bila dimungkinkan pemerintah bisa menyediakan dana khusus sebagai jaminan kepada perbankan untuk menyalurkan dananya kepada nelayan. Kalaupun perbankan tidak mampu memenuhi peran tersebut, pemerintah bisa menempatkan dananya sebagai penyertaan modal kepada KUD-KUD pengelola TPI. Memang, nada miring tentang KUD seringkali kita dengar sehingga pemerintah pun cenderung berhati-hati bila ingin memberdayakan KUD. Namun, pendapat ini tidak bisa digeneralisasi secara membabi buta, karena masih cukup banyak pengurus KUD yang mempunyai hati nurani seperti KUD-KUD pengelola TPI. Tidak ada salahnya, mulai sekarang pemerintah mulai mencoba mengalokasikan dana retribusi dari transaksi di TPI untuk diarahkan kepada penyediaan modal bagi nelayan. Dengan demikian misalokasi anggaran diharapkan tidak akan banyak terjadi, karena dengan memberdayakan KUD berarti pula mendorong bangkitnya kekuatan ekonomi nelayan[17].
Selain mengambil kebijakan yang memihak, hukum juga harus difungsikan sebagai sarana perubahan social. Kita bisa ambil contoh kebijakan pemerintah di Malaysia yang sangat memihak kepada pribumi, dalam hal ini etnis Melayu. dalam regulasinya, pemerintah Malayasia mendorong agar 20 – 25 persen kepemilikan saham-saham perusahaan dikuasai oleh etnis Melayu. Bahkan pada tahun 2020, Malaysia menargetkan kepemilihan saham etnis Melayu bertambah menjadi 30 persen[18]. Dalam hal ini, Hukum dapat difungsikan sebagai alat rekayasa social untuk mensejahterakan para nelayan.
Penutup
Kemiskinan merupakan masalah yang multidimensional sehingga pendekatan untuk mengentaskan kemiskinan juga harus multidimensional. Dalam hal mengatasi kemiskinan kaum nelayan, Setidaknya perlu mengagas dan mewujudkan harapan akan perkuatan sektor kelautan dari semua aspek. Mulai dari gazetteer pulau, pemetaan wilayah terbaru, penegasan tapal batas, perkuatan armada pertahanan lautan (penambahan jumlah kapal patroli laut sampai jumlah ideal), pengembangan  dan kawal tetap pulau-pulau terluar, penertiban zona tangkapan ikan dan aktivitas kelautan lain, sampai persoalan penyelamatan lingkungan perairan. Ini juga termasuk perkuatan sektor perikanan, perjuangan nasib nelayan lokal (dalam negeri), penegasan dan penegakan  hukum perairan dan kelautan, sampai pemanfaatan berkelanjutan potensi laut yang ramah lingkungan. Begitu banyak “pekerjaan rumah” yang harus diselesaikan Indonesia untuk bisa tegar perkasa sebagai satu negara maritim terbesar dunia.
Dengan demikian mengatasi kemiskinan nelayan sebaiknya harus diawali dengan adanya data akurat statistik. Selanjutnya ditindaklanjuti mengenai apa penyebab dari kemiskinan tersebut, apakah karena jeratan utang atau faktor lain. Kemudian cara atau metode untuk menaggulanginya lebih terfokus, pada nelayan-nelayan yang berada pada subordinasi tokeh. Bagaimanpun juga bahwa penyebab kemiskinan tidaklah sama disemua wilayah, bahkan ukurannyapun bisa berbeda-beda atau tergantung kondisi setempat. Sehingga formula pengentasan kemiskinanpun tidak bisa digeneralisir pada semua wilayah atau semua sektor. Kemiskinan yang dialami oleh nelayan tidak bisa disamamakan dengan ukuran kemiskinan buruh di perkotaan. Bahkan dalam suatu di kabupaten yang sama belum tentu bisa diratakan ukuranya pada desa-desa pesisir yang ada. Program pengentasan kemiskinan nelayan membutuhkan strategi khusus yang mampu menjawab realitas yang terjadi hari ini. Selain itu, peranan hukum juga menjadi sangat penting untuk mensejahterakan para nelayan.

 
;